Dibalik Jendela Kalangan Atas (TOU)
Sejenak
aku terhentak dan sempat menggigil ketika kaki ini menapaki sebuah jembatan
penyebrangan. Aku berhenti dan menoleh kebawah. Dari ketinggian ini tampak
jelas padatnya kota metropolitan dengan roda kehidupan yang beraneka ragam.
Diantara hiruk pikuknya klakson kendaraan, aku melihat seorang ibu-ibu
berpenampilan seadanya, dekil, dan menggendong
anak nya sambil menadahkan tangan ke arah jendela-jendela kalangan atas. Ya,
beliau mengharapkan recehan yang kadang terbuang begitu saja dari kantong
celana seseorang. Beliau berjalan selangkah demi selangkah, menadahkan salah
satu tangan, dan terus berjalan sambil menggendong anaknya. Bukan hanya
ibu-ibu, para remaja dan anak-anak kecil pun tidak sedikit yang meminta-minta
seperti itu. Tak jarang juga yang memalingkan muka saat para kalangan bawah
mulai turun kejalan meminta sisa-sisa recehan pada orang-orang disekitarnya. Mereka
mengharap belas kasihan agar anak-anak dan keluarganya bisa bertahan hidup. Tak
kenal panas maupun hujan, apapun mereka tempuh demi sekedar untuk mengisi
perut.
Berjalan
ditengah-tengah kemacetan sambil menadahkan tangan dibalik kaca-kaca kalangan
berada. Menelusuri tempat demi tempat, ngamen di angkot-angkot, di emperan
toko, dan masih banyak lagi.
Aku sempat terpejam dan
berfikir. Harusnya aku bersyukur dengan kehidupan ku yang sekarang. Di didik
dan dibesarkan dengan kasih sayang meskipun kenyataannya keluargaku jauh dari
sempurna, kemudian disekolahkan hingga perguruan tinggi seperti saat sekarang
ini. Diluar sana masih banyak orang-orang yang nasibnya belum beruntung. Tidak ada
yang menginginkan kondisi yang demikian, tapi ya itulah jalan hidup setiap
orang berbeda-beda. Kembali lagi bagaimana usaha dan tekad kita untuk membuat
hidup kita lebih baik lagi...
Komentar
Posting Komentar